Ibn
Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah
kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang
mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa
kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang
demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat
rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya
bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran
dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun
panjang perjuangannya.
Ibn
Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang
berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa
malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada
Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka
untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam
menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan
memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun
mereka ditemukan?
Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn
Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan
perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong
anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan),
menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi, dan
menyerang msayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan
demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran
yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan
hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan
yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
Ibn
Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara
kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw
memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki
surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam
dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu
malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah
akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat
jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana
Allah. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut
dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn
Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar.
Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan
penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn
Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia
mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan
dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita
tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan
bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati
harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun
demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh
ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah
secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah
yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam
kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn
Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah
orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna
lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan
spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena
yang tak tampak.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun
yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya
dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan
pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan
seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa
manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau
teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu
adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang
diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
Ibn
Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang
mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi,
seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum
islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri
(menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan
untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi,
mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin
(thathhir al bathin).
Meskipun
demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama sama apa-apa yang
tersembunyi. Agara anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda
mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan
gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia
telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama
seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai
perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha
ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia
mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang
patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda
setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara
para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan
semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat
mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan
dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk
mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan
berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau
merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak,
rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat
dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang
muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik
dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya
dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan
demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana
akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan
meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn
Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut
dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka
sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu
karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca
pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya
semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif,
maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan.
Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang
konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah
dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Sumber : http://mevlanasufi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar